A. Jati Diri Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi.
Dalam
era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan
dimasyarakatkan oleh setiap warga negara Indonesia. Hal ini diperlukan agar
bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh pengaruh dan budaya asing yang
jelas-jelas tidak sesuai dan (bahkan) tidak cocok dengan bahasa dan budaya
bangsa Indonesia. Pengaruh dari luar atau pengaruh asing ini sangat besar kemungkinannya
terjadi pada era globalisasi ini. Batas antarnegara yang sudah tidak jelas dan
tidak ada lagi, serta pengaruh alat komunikasi yang begitu canggih harus
dihadapi dengan mempertahankan jati diri bangsa Indonesia, termasuk jati diri
bahasa Indonesia. Sudah barang tentu, hal ini semua menyangkut tentang
kedisiplinan berbahasa nasional, yaitu pematuhan aturan-aturan yang berlaku
dalam bahasa Indonesia dengan memperhatikan siatuasi dan kondisi pemakaiannya.
Dengan kata lain, pemakai bahasa Indonesia yang berdisiplin adalah pemakai
bahasa Indonesia yang patuh terhadap semua kaidah atau aturan pemakaian bahasa
Indonesia yang sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Setiap
warga negara Indonesia, sebagai warga masyarakat, pada dasarnya adalah pembina
bahasa Indonesia. Hal ini tidak berlebihan karena tujuan utama pembinaan bahasa
Indonesia ialah menumbuhkan dan membina sikap positif terhadap bahasa
Indonesia. Untuk menyatakan sikap positif ini dapat dilakukan dengan (1) sikap
kesetiaan berbahasa Indonesia dan (2) sikap kebanggaan berbahasa Indonesia.
Sikap kesetiaan berbahasa Indonesia teruangkap jika bangsa Indonesia lebih suka
memakai bahasa Indonesia daripada bahasa asing dan bersedia menjaga agar
pengaruh asing tidak terlalu berlebihan. Sikap kebanggan berbahasa Indonesia
terungkap melalui kesadaran bahwa bahasa Indonesia pun mampu mengungkapkan
konsep yang rumit secara cermat dan dapat mengungkapkan isi hati yang
sehalus-halusnya. Yang perlu dipahami adalah sikap positif terhadap bahasa
Indonesia ini tidak berarti sikap berbahasa yang tertutup dan kaku. Bangsa
Indonesia tidak mungkin menuntut kemurnian bahasa Indonesia (sebagaimana aliran
purisme) dan menutup diri dari saling pengaruh dengan bahasa daerah dan bahasa
asing. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus bisa membedakan mana pengaruh
yang positif dan mana pengaruh yang negatif terhadap perkembangan bahasa
Indonesia. Sikap positif seperti inilah yang bisa menanamkan percaya diri
bangsa Indonesia bahwa bahasa Indonesia itu tidak ada bedanya dengan bahasa
asing lain. Masing-masing bahasa mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Sikap
positif terhadap bahasa Indonesia memberikan sumbangan yang signifikan bagi
terciptanya disiplin berbahasa Indonesia. Selanjutnya, disiplin berbahasa
Indonesia akan membantu bangsa Indonesia untuk mempertahankan dirinya dari
pengaruh negatif asing atas kepribadiannya sendiri. Hal ini sangat diperlukan
untuk menghadapi pergaulan antarbangsa dan era globalisasi ini.
Di
samping itu, disiplin berbahasa nasional juga menunjukkan rasa cinta kepada
bahasa, tanah air, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap warga negara
Indonesia mesti bangga mempunyai bahasa Indonesia dan lalu menggunakannya
dengan baik dan benar. Rasa kebanggaan ini pulalah yang dapat menimbulkan rasa
nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang mendalam. Setiap warga negara yang
baik mesti malu apabila tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar. Sikap pemakai bahasa Indonesia demikian ini merupakan sikap yang
positif, baik, dan terpuji. Sebaliknya, apabila yang muncul adalah sikap yang
negatif, tidak baik, dan tidak terpuji, akan berdampak pada pemakaian bahasa
Indonesia yang kurang terbina dengan baik. Mereka menggunakan bahasa Indonesia
“asal orang mengerti”. Muncullah pemakaian bahasa Indonesia sejenis bahasa
prokem, bahasa plesetan, dan bahasa jenis lain yang tidak mendukung
perkembangan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Mereka
tidak lagi memperdulikan pembinaan bahasa Indonesia. Padalah, pemakai bahasa
Indonesia mengenal ungkapan “Bahasa menunjukkan bangsa”, yang membaw pengertian
bahwa bahasa yang digunakan akan menunjukkan jalan pikiran si pemakai bahasa
itu. Apabila pemakai bahasa kurang berdisiplin dalam berbahasa, berarti pemakai
bahasa itu pun kurang berdisiplin dalam berpikir. Akibat lebih lanjut bisa
diduga bahwa sikap pemakai bahasa itu dalam kehidupan sehari-hari pun akan
kurang berdisiplin. Padahal, kedisiplinan itu sangat diperlukan pada era
globalisasi ini. Lebih jauh, apabila bangsa Indonesia tidak berdisiplin dalam
segala segi kehidupan akan mengakibatkan kekacauan cara berpikir dan tata
kehidupan bangsa Indonesia. Apabila hal ini terjadi, kemajuan bangsa Indonesia
pasti terhambat dan akan kalah bersaing dengan bangsa lain.
Era
globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat
mempertahankan diri di tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit.
Untuk itu, bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri dengan baik dan penuh
perhitungan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah jati diri
bangsa yang diperlihatkan melalui jati diri bahasa. Jati diri bahasa Indonesia
memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang sederhana, Tatabahasanya
mempunyai sistem sederhana, mudah dipelajari, dan tidak rumit. Kesederhanaan
dan ketidakrumitan inilah salah satu hal yang mempermudah bangsa asing ketika
mempelajari bahasa Indonesia. Setiap bangsa asing yang mempelajari bahasa
Indonesia dapat menguasai dalam waktu yang cukup singkat. Namun, kesederhaan
dan ketidakrumitan tersebut tidak mengurangi kedudukan dan fungsi bahasa
Indonesia dalam pergaulan dan dunia kehidupan bangsa Indonesia di tengah-tengah
pergaulan antarbangsa. Bahasa Indonesia telah membuktikan diri dapat
dipergunakan untuk menyampaikan pikiran-pikiran yang rumit dalam ilmu
pengetahuan dengan jernih, jelas, teratur, dan tepat. Bahasa Indonesia menjadi
ciri budaya bangsa Indonesia yang dapat diandalkan di tengah-tengah pergaulan antarbangsa
pada era globalisasi ini. Bahkan, bahasa Indonesia pun saat ini menjadi bahan
pembelajaran di negara-negara asing seperti Australia, Belanda, Jepang, Amerika
Serikat, Inggris, Cina, dan Korea Selatan.
B. Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi.
Dalam
menghadapi era global saat ini, tampaknya kita harus berbenah untuk menghadapi
berbagai fenomena yang terjadi. Tujuan pembelajaran bahasa yang mengarah pada
penggunaan bahasa perlu mendapat pencermatan kita. Saat ini perhatian para guru
bahasa Indonesia tertuju pada upaya menerampilkan siswa dalam penggunaan bahasa
Indonesia. Pertanyaan kritis untuk kondisi seperti itu adalah apakah kita akan
berhenti melakukan upaya dalam pembelajaran bahasa manakalah para siswa
terampil menggunakan bahasa.
Pada era global
diperlukan pikiran-pikiran kritis dan kreatif. Kemampuan berpikir tersebut
perlu mendapat perhatian para pendidik, termasuk guru bahasa Indonesia. Untuk
itu, pembelajaran bahasa Indonesia saat ini tidak sekadar mencapai keterampilan
berbahasa Indonesia, tetapi juga mengarah pada peningkatan kemampuan berpikir
tersebut. Dengan kata lain, sudah saatnya kita bertanya diri apa yang bisa kita
berikan untuk menjadikan siswa berpikir kritis dan kreatif melalui pembelajaran
bahasa Indonesia.
Berpikir kritis
merupakan salah satu kegiatan manusia yang saat ini sangat diperlukan untuk
mengembangkan berbagai segi kehidupan, baik sosial, budaya, maupun teknologi.
Alvino (dalam Cotton,1991) menyatakan bahwa, “berpikir kritis adalah proses
menentukan kebenaran, ketepatan, atau penilaian terhadap sesuatu yang ditandai
dengan mencari alasan dan alternatif, dan mengubah pandangan seseorang
berdasarkan bukti”. Scriven & Paul (dalam Cotton,1991; Piaw, 2004:66)
memberikan batasan terhadap berpikir kritis sebagai salah satu model berpikir
tentang suatu subjek, isi, atau masalah – yang digunakan oleh seseorang untuk
meningkatkan kualitas berpikirnya melalui penggunaan struktur berpikir secara
cekatan dan menentukan standar intelektualnya. Kedua batasan tersebut memunculkan
pemahaman bahwa berpikir kritis terkait dengan logika. Lebih lanjut Alvino
menyatakan bahwa berpikir kritis disebut juga berpikir logis dan berpikir
analitis.
Alvino membatasi
berpikir kreatif sebagai cara melihat dan melakukan sesuatu yang baru yang
ditandai dengan kelancaran (menghasilkan banyak gagasan), kelenturan (mengubah
pandangan secara mudah), keaslian (memiliki kebaruan), dan elaborasi (membangun
berbagai gagasan). Facione (1998) menyatakan bahwa berpikir kreatif atau
berpikir inovatif adalah sejenis berpikir yang menimbulkan wawasan baru,
pendekatan baru, perspektif yang segar, yang semuanya merupakan cara-cara baru
untuk memahami dan menyusun sesuatu. Secara singkat Smalling (dalam
Cotton,1991) memberikan batasan bahwa creative thinking is the ability to
invent original ideas for accomplishing goals.
Ketiga
batasan tersebut terkait dengan unsur “baru”. Unsur ini menjadi penanda
kreativitas. Unsur “baru” dalam produk kreatif ini tidak berarti harus “baru
sama sekali”. Unsur 5 ini dapat dihasilkan dari proses kombinasi, penggabungan,
atau penyusunan kembali gagasan. Dengan demikian, “kebaruan” lebih dekat dengan
pertimbangan dari sudut pengalaman pencipta. Selain itu, bukan berarti produk
kreatif hanya didasarkan pada unsur “baru” tanpa mempertimbangkan proses
berpikir yang melahirkan kebaruan tersebut. Produk kreatif lahir dari proses
berpikir yang melibatkan juga struktur berpikir logis sehingga “keanehan”,
“keunikan”, dan “keganjilan” masih dapat dijelaskan secara rasional. Misalnya, robot
sebagai produk kreatif di bidang teknologi, baik dalam penciptaannya maupun
operasinya menggunakan prinsip-prinsip logika teknologi.
Kedua
jenis berpikir tersebut sangat tepat untuk mendedah pembelajaran bahasa
Indonesia saat ini. Mari kita tafakur: sudahkah kita mengarahkan pembelajaran
bahasa Indonesia untuk menjadikan siswa mampu berpikir kritis dan kreatif
sehingga mereka dapat menghadapi berbagai tantangan dalam era global saat ini;
bagaimana caranya sehingga pembelajaran bahasa Indonesia mampu menggerakkan
pikiran kritis dan kreatif siswa.
C. Faktor Penghambat dan Pendukung.
Pembelajaran
bahasa Indonesia saat ini, belum menuju pada pembentukan kedua pola berpikir
tersebut. Para guru masih sibuk memikirkan pencapaian berbagai kompetensi yang
dituntut KTSP sehingga pembelajaran yang berlangsung belum menembus hakikat
pembentukan pola berpikir. Agar pembelajaran bahasa Indonesia masuk ke zona
pembentukan pola berpikir, teknik-teknik pembelajarannya perlu dikokohkan.
Armstrong (2009:vii) menyatakan bahwa sarana berpikir kreatif membantu
menyatukan fungsi hemisfer kanan –kiri, memperkuat, dan mengintegrasikan proses
berpikir secara serempak, tetapi bertahap. Lebih lanjut Armstrong menawarkan
teknik pembelajaran melalui solusi seluruh otak (The Whole –Brain Solution).
Dalam
pembelajaran mendengarkan dan membaca teknik pembelajarannya harus sampai pada
siswa mampu menemukan strategi informasi yang ditangkapnya bukan hanya siswa
mampu mengingat dan menemukan pokok-pokok pikiran. Jika sampai pada penemuan
strategi informasi siswa dapat berpikir kritis dan kreatif mengenai pokok
pikiran yang disampaikan, pengurutan pokok pikiran, dan pandangan yang
melatarbelakanginya.
Dalam
pembelajaran berbicara siswa diharapkan mampu menyampaikan pikiran-pikiran
kritis dan kreatif dalam menghadapi berbagai fenomena kehidupan. Teknik
pembelajaran yang digunakan sebaiknya mengarah pada teknik seminar sehingga
para siswa disiapkan untuk menemukan topik, mengunduh informasi, meramu
gagasan, dan mempresentasikan pikiran-pikiran kritis dan kreatif, baik pada
kelas kecil maupun pada kelas besar. Dengan penguatan seperti itu pembelajaran
bahasa dapat berkiprah pada pemecahan masalah yang terjadi dalam kehidupan.
Dalam
pembelajaran menulis para siswa harus mampu menyajikan berbagai tulisannya
untuk menjawab tantangan zaman. Penelusuran topik, penemuan masalah, dan pemecahan
masalah harus menjadi bagian yang tak terpisahkan. Tulisan para siswa harus
mendapat apresiasi untuk dapat disajikan dalam berbagai forum atau penerbitan.
Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia mampu membentuk keberanian siswa
untuk menyampaikan pikiran kritis dan kreatifnya.
Dalam
pembelajaran kemampuan bersastra para siswa diarahkan untuk mampu menyelami
karya sastra (bukan hanya persoalan unsur intrinsik, melainkan juga unsur
ekstrinsiknya). Dalam hal memahami unsur intrinsik, kepahaman para siswa bukan
hanya sebatas menemukan unsur intrinsik, melainkan juga diajak untuk menembus
batas-batasnya sehingga diperlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatifnya.
Dalam hal memahami unsur ekstrinsik, para siswa diajak untuk mampu melihat
nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra sehingga mereka dapat
memberikan pertimbangan mengenai kualitas kehidupan manusia. .
Tanggung
jawab terhadap perkembangan bahasa Indonesia terletak di tangan pemakai bahasa
Indonesia sendiri. Baik buruknya, maju mundurnya, dan tertatur kacaunya bahasa
Indonesia merupakan tanggung jawab setiap orang yang mengaku sebagai warga
negara Indonesia yang baik. Setiap warga negara Indonesia harus bersama-sama
berperan serta dalam membina dan mengembangkan bahasa Indonesia itu ke arah
yang positif. Usaha-usaha ini, antara lain dengan meningkatkan kedisiplinan
berbahasa Indonesia pada era globalisasi ini, yang sangat ketat dengan
persaingan di segala sektor kehidupan. Maju bahasa, majulah bangsa. Kacau
bahasa, kacaulah pulalah bangsa. Keadaan ini harus disadari benar oleh setiap
warga negara Indonesia sehingga rasa tanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan
bahasa Indonesia akan tumbuh dengan subur di sanubari setiap pemakai bahasa
Indonesia. Rasa cinta terhadap bahasa Indonesia pun akan bertambah besar dan
bertambah mendalam. Sudah barang tentu, ini semuanya merupakan harapan bersama,
harapan setiap orang yang mengaku berbangsa Indonesia.
Untuk
dapat menembus entitas paparan di atas kita perlu menyiapkan diri menjadi guru
yang memiliki kompetensi dan profesional. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan bahwa seorang
pendidik harus memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran, yaitu (a)
kompetensi pedagogik, (b) kompetensi sosial, (c) kompetensi kepribadian, dan
(d) kompetensi profesional.
DAFTAR PUSTAKA
Esten, Mursai. 2010.
“Bahasa dan Sastra Sebagai Identitas Bangsa Dalam Proses
Globalisasi”.
www.susandi.wordpress.com diakses 13 Januari 2010.
Muslich, Masnur. 2006.
“Bahasa Indonesia dan Era Globalisasi”.
www.researchengines.com
diakses 12 Januari 2010.